BANDUNG, kemahasiswaan.itb.ac.id - Masifnya tindakan manusia yang jauh dari konsep dan prinsip berkelanjutan menyebabkan krisis ekologis dunia kian mengkhawatirkan. Paradigma manusia yang menganggap bahwa alam adalah entitas asing yang tidak terpengaruh oleh perbuatan mereka tanpa sadar mengguncang stabilitas iklim dunia sehingga kerusakan lingkungan tidak lagi dapat dihindari.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutarsurya, dalam Kuliah Umum Studium Generale pada Rabu, (15/03/2023) lalu. Bertempat di Aula Barat Kampus Ganesha ITB, David membawakan materi bertajuk “Menata Ulang Kemajuan: Bagaimana Rekayasawan dan Ilmuwan Mendorong Revolusi Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan”.
Dalam pemaparannya, David menjelaskan bahwa kehidupan modern telah menggeser tatanan hidup manusia untuk tidak lagi memerhatikan alam. Ilusi yang diciptakan fase kehidupan ini telah membawa manusia untuk terus melupakan aspek alam dan lingkungan dalam kegiatan sehari-harinya.
“Saya menyadari bahwa kondisi manusia saat ini seolah lupa dengan alam. Setiap hari mereka melakukan tindakan-tindakan yang tanpa sadar memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Meskipun tindakan ini sepele, mereka tidak tahu bahwa jika dibiarkan maka dampak yang diberikan akan semakin besar layaknya efek bola salju,” jelas David.
Lebih lanjut, alumni Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB ini menyebutkan bahwa salah satu indikator yang semakin memperumit krisis ekologis ini adalah adanya dilema moral yang dirasakan oleh manusia. Proses kebimbangan ini terjadi karena mayoritas kerusakan lingkungan yang dilakukan manusia memiliki latarbelakang yang sulit untuk diperdebatkan. Alasan tersebut adalah upaya pemenuhi kebutuhan hidup manusia.
“Kondisi ini sebenarnya lebih rumit dari yang kita pikirkan. Dari data yang saya temukan, 62% emisi karbon yang terjadi di atmosfer bumi disebabkan oleh tindakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti proses pembuatan bahan baku, manufaktur, pembuatan produk, dan pembuangan,” ungkap David.
Tentunya dalam menghadapi fenomena ini, diam dan terus berdalih dari kenyataan bahwa alam ini semakin rusak bukanlah sebuah solusi yang tepat. David mengatakan bahwa dengan adanya kebutuhan-kebutuhan itu seharusnya manusia bisa mengembangkan inovasi-inovasi yang lebih memerhatikan lingkungan. Revolusi cara berpikir yang lebih menempatkan aspek alam dalam setiap kebijakan menjadi hal utama yang harus manusia pikirkan dan lakukan saat ini.
“Dalam menghadapi permasalahan ini, solusi utama yang harus dilakukan adalah dengan mengubah pola hidup manusia agar lebih berorientasi pada lingkungan. Bahkan, proses perubahan ini harus meninjau sistem struktural yang lebih besar. Tujuan pembangunan yang mulanya mengedepankan kuantitas dan produktivitas, bisa kita ganti dengan mengedepankan aspek ekoefisiensi dimana pencapaian kualitas hidup itu harus dicapai dengan kerusakan alam yang seminimal mungkin,” pungkas David.