AKU
TUH NORMAL GAK SIH?
Sebelum
menentukan normal atau tidak, kita perlu melihat definisi normal dalam arti
sehat mental terlebih dahulu. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi
mental yang tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Kesehatan mental disini
mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, dan emosional. Sedangkan menurut
APA (American Psychological Association)
sehat mental adalah a state of mind characterized by emotional
well-being, good behavioral adjustment, relative freedom from anxiety and
disabling symptoms, and a capacity to establish constructive relationships and
cope with the ordinary demands and stresses of life.
Setelah
mengetahui definisi normal dalam arti sehat mental, mari kita lihat definisi
abnormal atau tidak normal. Untuk menjelaskan abnormalitas sebndiri banyak sekali
sudut pandangan untuk menelaahnya. Berikut beberapa sudut pandang untuk
menjelaskan abnormalitas:
1.
Statistical infrequency. Perspektif ini menggunakan pengukuran statistik dimana
semua variabel yang yang akan diukur didistribusikan ke dalam suatu kurva normal
atau kurva dengan bentuk lonceng. Kebanyakan orang akan berada pada bagian
tengah kurva, sebaliknya abnormalitas ditunjukkan pada distribusi di kedua
ujung kurva. Misalnya intelegensi, ketrampilan membaca, dsb. Sehingga, abnormal
disini adalah sesuatu yang tidak umum.
2.
Unexpectedness, biasanya perilaku abnormal merupakan suatu bentuk respon yang tidak
diharapkan terjadi. Contohnya seseorang mengkhawatirkan kondisi keuangan
keluarganya, padahal ekonomi keluarganya saat itu sedang meningkat. Respon yang
ditunjukkan adalah tidak diharapkan terjadi.
3.
Violation of norms. Perilaku abnormal ditentukan dengan
mempertimbangkan konteks sosial dimana perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku bertentangan dengan norma yang berlaku
maka dianggap abnormal. Kriteria ini
mengakibatkan definisi abnormal bersifat relatif tergantung pada norma
masyarakat dan budaya pada saat itu.
4.
Personal distress. Perilaku dianggap abnormal jika hal itu
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan bagi individu. Tetapi tidak semua penderitaan atau kesakitan
merupakan abnormal. Misalnya seseorang yang sakit karena disuntik. Kriteria ini
bersifat subjektif karena sulit untuk menentukan standar tingkat distress
seseorang agar dapat diberlakukan secara umum.
5.
Disability. Individu mengalami ketidakmampuan
(kesulitan) untuk mencapai tujuan karena abnormalitas yang dideritanya.
Dari kelima sudut pandang
mengenai abnormalitas tersebut menunjukkan bahwa perilaku abnormal sulit untuk
didefinisikan. Tidak ada
satupun kriteria yang secara sempurna dapat membedakan abnormal dari perilaku
normal. Untuk itu terdapat 3 hal untuk menentukan perilaku abnormal yaitu,
dilihat dari frekuensi (berapa
sering), intensitas (berapa kuat)
dan durasi (berapa lama) suatu
perilaku muncul. Hal ini tidak hanya untuk perilaku tetapi juga dapat di
aplikasikan pada aspek afeksi (emosi) ataupun kognisi. Agar lebih mudah memahami
mari kita lihat contoh sederhana.
Misalnya, ketika
bertengkar dengan teman saya merasa sedih lalu saya menangis, akan tetapi pada
satu kejadian saya menangis lebih sering dari biasanya (frekuensi) bahkan
sampai berhari-hari, kemudian juga saya menangis lebih lama dari biasanya
(durasi) dan saya merasakan kesedihan yang amat dalam (intensitas), saya merasakan
ada yang tidak biasa terjadi pada saya.
Ketika individu merasakan
ada yang tidak biasa terjadi pada dirinya bukan serta merta individu tersebut
melakukan self-diagnose tetapi hal
ini dapat dilakukan sebagai alarm
atau tanda bahwa individu memerlukan bantuan dari ahli, dalam hal ini dapat
menemui atau menghubungi peer counselor,
psikolog atau psikiater jika dibutuhkan.
Ditulis oleh Yusi Prasiwi
NOMOR DARURAT