Bahagia Tidaklah Sederhana




 
OLEH MARIYUANA S.PSI.PSIKOLOG

Kita tak asing mendengan masa remaja itu masa bermasalah. Dipandang sebagai  masa stream and strom. Perubahan kondisi yang sering kali bisa terjadi tiba-tiba. Remaja  acap menimbulkan kerumitan dan sensitifitas emosional dalam hidup mereka, perluasan minat mengenai potret diri dan pencarian identitas. Situasi demikian tidak jarang  membuat remaja rawan mengalami konflik internal dan eksternal.

Berbagai peristiwa yang dipersepsi remaja sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Remaja seolah merasakan adanya jurang pemisah antara aspirasi mereka dengan peluang nyata. Menjadikan kondisi dilingkungan mereka sebagai pembanding terhadap situasi yang dihadapi. Seperti misalnya banyaknya lulusan sarjana tapi tidak bekerja. Lulus dengan IPK tinggi tapi tidak pernah lolos wawancara kerja, Banyak pengusaha sukses bukan tamatan sekolah tinggi.

Fenomena yang berkembang di masyarakat kerap menggiring pola pikir remaja pada pola pikir yang negative. Pola pikir yang mengarah pada munculnya “deprivasi relatif “  yaitu perasaan yang muncul akibat adanya kesenjangan antara kenyataan dengan harapan remaja. Perasaan deprivasi akan makin besar mana kala remaja itu memiliki pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.  Remaja mendapati kenyataan akan kegagalan yang ia terima, gagal sebagai anak, gagal mewujudkan keinginan orang tua, gagal studi, gagal mendapat kerja, mendapat penolakan dari teman, keberadaannya seolah tidak diakui dilingkungan. Orangtua selalu memberikan penilaian merendahkan meski anak sudah berusaha maksimal belajar atau berlaku baik.  Belum lagi ada saja  remaja yang merasa hidupnya tidak beruntung. Mereka mendapati teman-temannya dengan kehidupan ekonomi yang lebih mapan, keluarga yang utuh, teman-teman yang berhasil mendapatkan nilai bagus. Semua ini dapat menjadi tekanan psikologis buat remaja. Munculah anggapan bahwa mustahil mereka bermimpi sesuatu yang besar, menggangap hal itu tidak realistis dan tidak dapat diraih.

Seorang lulusan Pasca sarjana menangis menceritakan perasaannya yang tertekan, sedih, merasa tidak berarti, merasa kosong , meski memiliki pencapaian yang tinggi dengan IPK nyaris 4. Ia tidak tahu akan bekerja apa dan dimana, ia pun merasa tidak yakin untuk dapat diterima kerja. Ia mengaku tidak mendapatkan apa-apa semasa kuliah. IPK dan skripsi bagus pun karena bantuan dan kebaikan dari kakak tingkat yang simpati dengannya. Ia tidak merasa menguasai apapun dari materi yang dia pelajari.  Semua ini membuatnya takut untuk dapat bersaing dalam lapangan kerja. Ia pun menyimpan kemarahan dan kekecewaan terhadap orangtuanya. Sangat ironis, terlahir dari orangtua yang terpelajar serta memiliki posisi bagus dipekerjaannya, keluarga yang tidak memiliki permasalahan secara finansial. Semua keinginan secara materi tidak sulit ia dapatkan. Memiliki orangtua terpelajar dengan posisi terhormat nampaknya tidak jadi jaminan untuk dapat memahami kebutuhan anaknya. orangtua memiliki banyak tuntutan yang mereka pikulkan pada anak tanpa mempertimbangkan dan menyadari harapan ini menjadi beban berat bagi anaknya.

Tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan seorang mahasiswa tingkat awal yang selalu terobsesi dan dituntut untuk selalu berprestasi oleh orangtua, harus selalu juara, harus unggul dalam segala hal. Orangtua selalu menjadikan kakaknya yang saat ini bersekolah diluar negeri sebagai parameter keberhasilannya. Ia bersekolah di SMA yang sama dengan kakaknya. Guru-guru di sekolahnya selalu membandingkannya dengan keberhasilan kakaknya. Semua orang ia rasa selalu menilai dirinya anak yang pintar, yang mampu berprestasi seperti sang kakak. Penilaian yang terlalu tinggi pada dirinya membuat ia berupaya sangat keras untuk memenuhi harapan yang diberikan banyak orang. Meski pada akhirnya dapat mewujudkan mimpi orangtuanya agar ia dapat masuk di universitas favorite. Permasalahan baru pun muncul, jurusan yang ia ambil bukan sepenuhnya menjadi minatnya.  Pilihan jurusan atas dasar pertimbangan jurusan tersebut peminatnya tidak terlalu banyak. Ia mulai merasa salah jurusan. Ia mulai merasakan kesulitan dalam mengikuti perkuliahan, sulit untuk memahami materi yang dosen sampaikan. Alhasil pencapaian prestasi kuliah tidak memuaskan,IP yang didapat tidak lebih dari 1.5. Ia merasa frustasi , kecewa karena selalu dibawah bayang-bayang kakaknya yang dinilai suksses oleh orangtua . Ia  merasa merasakan kelelahan harus memenuhi harapan orang lain. Ia merasa melakukan usaha yang melebihi kemampuan dirinya.

Dua contoh kasus diatas hanya sedikit dari permasalahan yang dihadapi remaja. Tidak sedikit remaja saat ini yang mengeluhkan hidupnya hampa, merana dan tidak bahagia. Merasa tertekan menjalani perannya sebagai remaja. Hari-hari dilalui dengan kegelisahan, sedih, merasa sendiri, sulit tidur, tidak dapat menikmati peruntungan yang mereka dapat. Merasa frustasi, apa yang diinginkan tidak tercapai. Dan masih banyak lagi kondisi psikologis yang mereka rasakan seperti stress, depresi atau anxety. Kadang kala  memunculkan ide-ide aneh dalam pikiran, untuk menghilang dari muka bumi atau memindahkan rasa sakit pada bagian tubuh lain.

Dapatkah kondisi ini kita artikan sebagai indikasi dari ketidak bahagia? Bagaimana dikatakan bahagia mana kala remaja tidak dapat menikmati keberadaannya, tidak memiliki rasa aman dan nyaman dengan kondisi yang mereka jalani. Tidak merasa berharga dan dibutuhkan oleh orang disekitarnya.

Ini menggambarkan bahwa banyak dari remaja yang memiliki afeksi negative. Perasaan negative lebih banyak menguasai diri mereka. Diantara afeksi negative diantaranya rasa sedih, marah, kesal, frustasi atau kecewa. Hal ini tentunya membuat remaja sulit untuk merasakan kebahagian. Untuk mendapatkan kesejahteraan subjektif,  remaja harus mampu mengatasi afeksi negative dari dalam dirinya. Bersyukur setiap waktu, menerima diri, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan afeksi positif. Memperbanyak afeksi positif, meminimalisir afeksi negatif dan puas dengan kehidupan yang dimiliki merupakan komponen dari kesejahteraan hidup. ini semua adalah komponen yang akan mendekatakan remaja pada kesejahteraan, atau kebahagian. Tentu saja standardnya akan berbeda bagi setiap orang.

Rusydi (2007) menyebutkan bahwa kebahagiaan merupakan sekumpulan perasaan yang dapat dirasakan berupa perasaan senang, tentram, dan memiliki kedamaian. Imam Al-Ghozali menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan, sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya kebahagiaan puncak, yaitu bertemunya manusia dengan Allah di kehidupan akhirat kelak. Setiap manusia tentunya mengharapkan dan menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup mereka, baik kebahagiaan yang bersifat sementara atau kebahagiaan yang hakiki/abadi.

Kebahagian tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar, dicium dan diraba tapi kita bisa rasakan kebahagiaan. kebahagian adalah hal yang abstrak dan sangat subjektif. Sangat tergantung indivudu itu sendiri. Karena kebahagiaan itu sebuah konsep sulit untuk digambarkan. Kita menggambarkan kebahagian adalah dari rasa senang, suka cita.

Apa yang kita pahami tentang kebahagiaan nyatanya Bahagia tidaklah sederhana. Setiap orang memiliki nilai kebahagian yang berbeda. Bagaimana keadaan dirinya, apa yang menjadi standarnya, apa yang menjadi kebutuhannya, tentu sangat menentukan nilai kebahagiaan seseorang. Mempertanyakan  kebahagian tak ubahnya mempertanyakan tentang kebenaran  yang selalu nisbi dan relatif. Kebenaran absolut hanya ada ditangan ALLAH. Kebahagian seorang muslim yang hakiki adalah ketika nanti bertemu dengan sang penciptanya.

Dalam time magazine disampaikan terdapat delapan sumber kebahagiaan yaitu relasi dengan anak-anak (77%), dari teman dan persahabatan (76%), memberikan kontribusi kepada kehidupan orang lain (75%), hubungan dengan suami/istri (73%), kemampuan mengontrol hidup (66%), kemampuan memanfaatkan waktu luang (64%), hubungan dengan orang tua (63%), religiusitas dan spiritualitas (62%) dan hari-hari libur seperti perayaan hari besar dan tahun baru (50%). ( Joel Stein, “Marriage: Is There A Hitch”, Time Magazine,” 9 Januari 2005, accessed April 8, 2017, ttp://content.time.com/time/magazine/article/0,917 1,1015873,00.html)

Generasi milineal (Gen Z) lahir dan berkembang dimasa yang serba instant, serba gampang, serba dimudahkan. Kondisi ini tampaknya semakin memfasilitasi remaja dalam melihat sesuatu lebih banyak dari sudut yang menyenangkan. Sehingga tidak salah bila remaja saat ini mendapat julukan kaum Hedonis. Gaya hidup hedonis merupakan salah satu bentuk gaya hidup yang memiliki daya tarik bagi remaja. Dengan adanya fenomena tersebut, remaja cenderung untuk lebih memilih hidup yang mewah, enak, dan serba berkecukupan tanpa harus bekerja keras (Gushevinalti, 2010).

Dalam hal ini  hedonis dipahami sebagai kehidupan yang syarat dengan pestapora, makan enak, musik yang enak, tarian yang menyenangkan, tempat yang nyaman, segala sesuatu yang menyenangkan. Sebagaimana yang kita pahami hedonis Ini adalah sebuah pandangan tentang kebahagiaan yang paling kuno. Beranggapan bahwa mereka bahagia manakala pemenuhan ketenangan dan menghindari rasa sakit. Tentu saja semua orang menginginkan kesenangan, tidak ada seorangpun menginginkan kesedihan.  Meski nyatanya tidak pernah ada manusia yang terus menerus hidupnya dalam kesenangan.

Sangat mustahil bila kita hanya hidup mengejar kesenangan terus-menerus dan menghindari rasa sakit. Ini tak ubahnya seperti kita berlari diatas treadmill, berlari  ditempat terus menerus tetapi tidak kemana mana. Paradigma kebahagian ini kemudian bergeser seiring dengan berkembangnya pengetahuan. Manusia mulai memiliki kebijaksanaan bahwa kebahagian itu tidak melulu kesenangan. Kesedihan atau pengalaman yang dianggap dapat menimbulkan rasa sakit, tetap dibutuhkan untuk membuat manusia bertumbuh.

Perkembangan pengetahuan membuat manusia menjadi semakin bijak. Kebahagian tidak lagi hanya untuk mendapatkan kesenagan semata.  Kebahagian diwujudkan dalam bentuk kesejahteraan. Begitu pentingnya memberikan dafinisi tentang kebahagian, sehingga hal ini menjadi perhatian dan penelitian dari waktu ke waktu. Para ilmuan besar Yunani mengemukakan tentang konsep kebahagian yang dinamai  Eudaimonia. Konsep ini menggugurkan persfektif mengenai kebahagian hedonis, karena dianggap kurang tepat untuk dijadikan konsep bahagia.  Plato, Aristoteles, Socrates atau descrates meninjau kebahagian dalam berbagai sudut pandang . Plato mengatakan kebahagian itu adalah tercapainya keinginan. Keinginan ini adalah hal yang mampu memuaskan kebutuhan unsur jiwa yang terdiri dari lahiriah, batiniyah, dan rohaniah. Sedangkan  Sokrates beranggapan kebahagian itu terkait bagaimana manusia dapat mengenali dirinya. Bila seorang dapat mengenali dirinya dapat mengenali pemenuhan kebutuhan jiwanya, maka manusia tersebut dapat mengontrol hal yang menjadi keinginan dalam hidupnya. 

Kebahagiaan berbasis edumonia ini  memiliki parameter yang lebih detil yaitu berupa; penerimaan diri, penguasaan lingkungan, hubungan positif, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup , otonomi. Penerimaan diri ini terkait bagaimana mereka mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya. Apapun yang terjadi dalam hidup baik atau buruk, kita terima dan kita rangkul. Karena pada dasarnya semua orang memiliki kelemahan. Kesadaran akan penerimaan ini menjadikan remaja berusaha agar kelemahan itu tidak mengganggu hidup nya. Perkembangan hidup, sedikit atau banyak mendorong remaja untuk bertumbuh. Diperlukan perubahan dari hidup untuk menghasilkan kwalitas yang lebih baik. Diharapkan pada akhirnya remaja dapat menjadi diri yang seutuhnya .

Remaja perlu mengembangkan kecerdasan social agar dapat bertahan terhadap perubahan dilingkungannya. Pengalaman yang didapat akan melatih remaja agar lebih pandai membaca lingkungan. Menjalin hubungan positif berkaitan dengan seberapa bagus kualitas hubungan remaja dengan orangtua, keluarga atau temana-temannya. Memiliki otonomi bagi dirinya, dalam arti remaja harus mampu bersikap mandiri saat menjalani hidup. Secara social tetap slaing membutuhkan namun tidak bergantung kepada orang lain.  Remaja harus bisa bahagia tanpa harus menunggu orang lain ia mampu bertindak berdasarkan keinginannya. Memahami hidup adalah sesuatu yang berharga untuk itu perlu memiliki tujuan hidup yang jelas dan terarah. Ia mampu mengembangkan nalarnya dalam mengatasi setiap permasalahan. Ia mampu belajar dari pengalaman dan dapat beradaptasi dengan segala perubahan.

SUMIHARSO, Industrial / Organisational Psychologist, Seorang peneliti yang consent dalam mengembangkan instrument saat ini melakukan penelitian untuk mengukur tingkat kebahagian yang kita rasakan. Instrumen ini diharapkan dapat menjadi sarana introsfeksi dan penanda tentang nuansa dan dinamika dalam kejiwaan kita. Instrumen ini bersifat anonim dan dapat diisi secara daring (online).  instrumen untuk men-skrining secara cepat dan akurat tingkat kebahagiaan yang kita alami. Remaja atau khalayak luas dapat mengakses . Link Online Assessment Oxford Happiness Scale : Oxford Happiness Scale

 https://tinyurl.com/OHSNET atau https://www.psytoolkit.org/c/3.3.2/survey?s=2CRPS

© Copyright 2019 Informasi dan Komunikasi Direktorat Kemahasiswaan ITB