
Fulca Veda
Bandung, ITB Career Center - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Prof. H. Mohamad Nasir, Ph.D. Ak menuturkan bahwa revolusi industri 4.0 telah melibatkan penggunaan kecerdasan buatan (AI), pengembangan bioteknologi, serta pemanfaatan robotika. Alih-alih menghilangkan lapangan pekerjaan, kemajuan tekonologi menurutnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih efektif dan efisien.
"Menurut riset PwC, 50% penduduk di dunia berusia di bawah 30 tahun, 78.6%-nya menyatakan bahwa teknologi dapat menciptakan lapangan kerja baru. Teknologi, sebesar 28%nya telah menggunakan kecerdasan buatan, 11.5%nya digunakan untuk pengembangan bioteknologi, dan 9,3% digunakan untuk pemanfaatan robotik serta internet of things (IoT). Jika dilihat lebih jauh, jelas teknologi mampu menghadirkan lingkungan kerja yang lebih cepat dan efisien, namun tidak berarti menghilangkan lapangan pekerjaan yang lama," ungkapnya ketika ditemui dalam peresmian Bukalapak-ITB AI & Cloud Computing Innovation Center di Aula Barat ITB, Jumat (1/2).
Dalam Talkshow bertajuk "Riset, Industri, dan Indonesia" tersebut Nasir menyampaikan bahwa jika kemajuan teknologi tidak dimanfaatkan dengan baik, Indonesia akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, kurikulum di Perguruan Tinggi harus didesain mengikuti perkembangan zaman, yakni sesuai kebutuhan industri saat ini.
"Kita harus berpikir out of the box, harus ada research center di dalam perguruan tinggi yang jadi ekspansi kita dalam memperharui kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia. Kurikulum harus didesain sesuai kebutuhan, terutama mengikuti perkembangan industri. Riset industri dan pusat karir itu penting karena output perguruan tinggi itu untuk memajukan ekonomi industri, harus dilihat apa yang seorang lulusan bisa lakukan di dunia industri nantinya," paparnya.
Ia menyampaikan bahwa sistem perekrutan kedepannya akan seperti industri di Sillicon Valley yang mengandalkan kemampuan (competency) dibandingkan gelar atau lulusan universitas tertentu semata. Hal ini menurutnya sudah tertuang dalam Pelatihan Pengembangan Kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada rapat presiden tahun 2018.
"Sesuai rapat presiden tahun 2018, misalnya, kita harus sudah mulai memperhatikan apa yang bisa dilakukan seseorang di dunia kerja. Seperti Google dan banyak startup di Sillicon Valley, kita harus mulai mengkategorikan tenaga kerja berdasarkan kualifikasinya. Apabila seseorang dinilai kompetensinya pada level 9, berarti kompetensinya sama dengan yang bergelar doktor. Kalau kompetensinya level 8 itu, masuk kualifikasi magister. Profesi dengan level 7 dan experienced setara dengan sarjana berpengalaman, dan seterusnya," tuturnya.
"Kenapa kita harus melihat kompetensi seseorang? Karena tak jarang, kita menemukan seseorang dengan gelar Diploma III dan pengalaman bekerja beberapa tahun, tapi tapi kompetensinya mencapai level 7, itu kelak akan kita setarakan dengan level sarjana. Oleh karenanya, yang kita lihat sekarang, kurikulum harus mulai terkonsentrasi pada pemenuhan kompetensi untuk dunia usaha dan dunia industri," tambahnya. (fv)