
Fulca Veda
Bandung, ITB Career Center - Tak banyak perusahaan yang mau menawarkan kesempatan bekerja seumur hidup atau lifetime employment. Namun, berbeda dari kultur kerja yang kerap kita temui di Indonesia, ternyata kesempatan tersebut menjadi salah satu benefit yang pasti ditawarkan oleh banyak perusahaan di Jepang.
Yuri Fukuoka selaku Human Resources Nikkei Inc., membenarkan hal tersebut. Lulusan University of San Francisco ini mengatakan bahwa di negeri sakura, seseorang akan dijamin untuk bekerja secara permanen di suatu perusahaan hingga masa pensiunnya.
"Kalau di Indonesia belum ada sistem lifetime employment. Di Jepang, seseorang bisa bekerja di satu tempat hingga masa pensiunnya. Selama tidak melakukan tindakan kriminal, perusahaan tidak akan bisa semena-mena memberhentikan karyawannya, sehingga sistem kontraknya cenderung seumur hidup," ujar Yuri pada Seminar: Nikkei Asian Recruiting Forum 2019 di Ruang GKU Timur ITB, Selasa (26/3).
Meski diterapkan disemua perusahaan Jepang, Yuri menambahkan bahwa sistem ini tidak akan berdampak pada penerapan penalti bagi karyawan yang ingin keluar dari suatu perusahaan tertentu.
"Walaupun sistem ini diberi nama 'lifetime employment', perusahaan-perusahaan Jepang cukup fleksibel kok. Kita tidak akan menerapkan penalti bagi karyawan yang ingin keluar atau pindah ke perusahaan lain," ungkapnya.
Lifetime Employment dan Loyalitas Bekerja di Jepang
Dalam kesempatan lain, Direktur ITB Career Center, Dr. Eng. Bambang Setia Budi mengatakan bahwa kultur Jepang masih menganggap loyalitas kepada perusahaan adalah hal yang penting.
"Orang Jepang masih menganggap loyalitas itu penting, mereka bisa bekerja hingga 20 tahun di satu perusahaan yang sama seumur hidup. Karena alasan tersebut, tenaga kerja di Jepang sangat jarang berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain dengan anggapan kesejahteraan kerja hanya bisa didapatkan bila tetap bekerja di perusahaan itu," tuturnya ketika ditemui di Ruang Meeting ITB Career Center.
Lifetime employment atau shūshin koyŠmenjadi salah satu keunikan tersendiri dalam sistem ketenagakerjaan di Jepang. Menanggapi hal itu, Bambang mengatakan bahwa tradisi ini turut berimbas pada penyebutan early career atau masa transisi awal bekerja di negeri sakura yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia.
"Bagi sebagian negara di Eropa dan Asia, memiliki beberapa daftar perusahaan dalam portofolionya adalah sebuah nilai tambah karena anggapannya, semakin banyak perusahaan yang telah menerima kita, berarti akan ada lebih banyak pengalaman kerja yang didapat, bahkan menjadi nilai banding dalam segi pendapatannya di pasar kerja. Tapi karena di Jepang ada sistem shuushin koyo ini, penyebutan early career akan merujuk pada 10 tahun setelah lulus dari perguruan tinggi. Sehingga, berpindah-pindah pekerjaan bagi banyak perusahaan Jepang malah cenderung menjadi nilai minus," pungkasnya.