BANDUNG, kemahasiswaan.itb.ac.id – Filsafat menjadi salah satu cabang keilmuan yang menyentuh nyaris semua bidang keilmuan di dunia ini. Melalui pembelajaran filsafat seseorang diajak berkontemplasi mengenai dunia pemaknaan sekaligus dunia nalar manusia. Studium Generale KU 4078 hari ini (27/8/2023) menghadirkan Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Pelita Harapan, Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman. Mengusung tema materi “Horizon-Horizon Kebenaran; Sains, Agama, dan Yang Belum Diketahui”, ia mengajak mahasiswa ITB untuk mempertanyakan kembali kebanaran faktual dalam sains, agama, dan bahkan kehidupan.
“Dewasa ini, termasuk di ITB kita selalu mendengar atau membaca beragam informasi dari textbook bahwa orang-orang bicara soal kebenaran, tentu kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran faktual. Kebenaran semacam ini memiliki beberapa nama, seperti objektivitas ilmiah fakta, evidence, dan seterunya. Hal-hal ini dicari dan menjadi kriteria dalam berbagai bidang seperti sains, pengadilan, demokrasi, bisnis, dan lain-lain. Hingga akhirnya kebenaran faktual semacam ini telah mencapai status supermasi epistemis,” papar penulis buku Kebenaran dan Para Kritikusnya (2023) tersebut.
Menurutnya, modernisasi masyarakat, khususnya Asia, sudah mulai mengarah pola pikir antroposentris, dimana manusia menjadi pusat segala sesuatu, mulai dari soal kesadaran puncak alam semesta. Hal itu berlaku pada alam, masyarakat, diri, dan bahkan Tuhan dianggap sebagai hasil kontruksi pikiran manusia dan itu dipandang sebagai sesuatu yang subjektif. Selain itu, dalam iklim antroposentris, sebuah epistemology menjadi sumber pengetahuan terpenting yang lalu menggeser ontology. Semua sains modern (ilmu-ilmu alam dan ilmuilmu sosial) mengandalkan rasio manusia untuk mengobservasi dan menginterpretasi realitas.
Dalam ilmu filsafat, epistemologisasi kebenaran dan konsep kebenaran faktual dikritik oleh empat aliran filsafat kontemporer diantaranya, The New Philosophy of Science yang ditokohi oleh Kuhn, Feyerabend, dan Rorty), lalu filsafat Hermeneutik yang memunculkan tokoh Dilthey, Heidegger, dan Gadamer). Kemudian, filsafat Poststrukturalisme yang diinisiasi oleh Foucault), dan terakhir yaitu Teori Kritis dari tokoh Habermas.
“Salah satunya yaitu pemahaman dari filsafat Hermeneutik. Di dalamnya agama bahkan beranggapan kebenaran itu universal, abadi, dan sains dengan kebenaran faktual cenderung disterilkan dari waktu. Kebenaran Hermeneutik menyelam ke dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Fakta sosial berbeda dengan fakta natural. Intinya kita tidak memiliki mata Tuhan untuk melihat Sejarah. Sains adalah salah satu ilmu yang menyejarah terkait dengan waktu,” jelas Fransisco.
Ia menyebutkan, pada masyarakat majemuk akhirnya harus ditetapkan empat jeni ontologi, diantaranya ontologi pelampuan bagi agama-agama monoteis, ontologi pelepasan bagi kebijaksanaan timur, ontologi penerimaan bagi sekulerisme dan naturalsime, serta ontologi penyingkapan ala Heidegger.
Ia meyakini bahwa pada masyarakat majemuk seperti Indonesia perlu mengembangkan ontologi plural yang memandang sains, agama-agama, dan sekularitas bukan sebagai penemu-penemu kebenaran, melainkan menempatkan mereka dalam arena pencarian kebenaran. Untuk itu sains, agama, dan sekularitas perlu didemokratisasikan. Mereka tidak identik dengan kebenaran. Sains, agama, dan filsafat akan tetap berdialog dan berkontestasi pada ranah ontologis sebagai horizon-horizon kebenaran. Kebenaran yang menyatukan sains, agama, dan filsafat belum dicapai secara objektif, tetapi harus diandaikan sebagai mungkin tercapai supaya pencarian kebenaran dilanjutkan dan tidak terjebak dalam sikap defaitistis (menerima kalah tanpa perjuangan) sebagaimana terjadi dalam relativisme kebenaran.
“Karena kebenaran yang menyatukan itu sudah sekaligus belum terwujud, maka sikap moderat adalah bijak, yakni “memupuk sekaligus sabar menunggu” sampai buah kebenaran matang oleh waktu,” pungkasnya.