JATINANGOR, kemahasiswaan.itb.ac.id - Direktorat Kemahasiswaan ITB bersama Kementrian Agama Republik Indonesia, menggelar Dialog Budaya Moderasi Beragama di Auditorium GKU 2 Kampus ITB Jatinangor (2/5/2024). Dalam dialog tersebut turut hadir Dr. (H.C). K. H. Lukman Hakim Saifuddin (menteri agama RI periode 2014 -2019) bersama dengan Prof. Dr. Suyitno, M. Ag (Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama) serta Dr. Yedi Hadi Purwanto M. Ag (Dosen Agama dan Etika Islam ITB).
Dialog ini merupakan salah satu misi untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan moderasi beragama ke seluruh civitas akademika perguruan tinggi baik di bidang keagamaan maupun perguruan tinggi secara umum. Dialog ini diawali oleh penampilan tari Saman yang dibawakan oleh Unit Kebudayaan Aceh ITB sebagai bentuk melestarikan kearifan lokal. Tak hanya itu, Teater Peqho turut mempersembahkan drama yang berkaitan dengan moderasi beragama untuk memantik suasana berdialog malam itu.
Penampilan seni yang dibawakan oleh UKA ITB dan Teater Peqho mendapat pujian dari Kepala Badan dan Litbang Kemenag RI. “Orang bijak bilang, logika itu melahirkan sains, etika melahirkan norma, dan estetika melahirkan keindahan. ITB bisa mengintegrasikan ketiga - tiga nya,” tuturnya.
Prof. Dr. Suyitno berkesempatan memberikan keynote speech sebelum dialog dimulai. Menurutnya sebuah bangsa membutuhkan suatu identitas budaya agar memiliki nilai estetika. Ia juga menyebutkan bahwa salah satu indikator penting dalam moderasi beragama adalah penerimaan budaya lokal.
“Bagi kita budaya adalah identitas bangsa. 1340 suku, 2500 bahasa, dan 17000 pulau inilah investasi sosial yang harus kita jadikan sebagai modal untuk membangun identitas bangsa,” terangnya.
Moderasi beragama didefinisikan sebagai proses, upaya, ikhtiar untuk menjadi moderat dalam beragama. Moderat dalam beragama mencakup 2 hal yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama. Ekstremitas dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama merupakan hal yang dihindari dalam konsep moderasi beragama.“Manusia memiliki wawasan, sudut pandang, perspektif, ekosistem, dan lingkungan strategis yang terbatas serta budaya yang beragam. Itulah yang menjadi penyebab saudara kita dalam memahami ajaran agama berlebih - lebihan dan melampaui batas” jelas Dr. (H.C). K. H. Lukman Hakim Saifuddin.
Menteri Agama periode 2014-2019 tersebut juga menjelaskan mengenai batasan-batasan suatu paham keagamaan dikatakan ekstrim atau moderat.”Lalu apakah batasan dari suatu paham dikatakan ekstrim atau moderat? Lihat saja apakah paham atau amalan keagamaan itu mengingkari atau menyimpang dari inti pokok ajaran agama atau tidak. Jika mengingkari inti pokok ajaran agama itu berarti paham tersebut ekstrem,” jelasnya.
Moderasi beragama tidak terlalu fokus pada bagian partikular dari suatu ajaran agama. Dalam mengimplementasikan konsep moderasi beragama, keragaman yang terdapat di wilayah partikular suatu paham keagamaan cukup disikapi dengan sikap toleransi.
“Keragaman itu tidak bisa kita hindari. Terbukti dari firman tuhan yang kaya dengan metafora, menggunakan ungkapan - ungkapan dan diksi yang memang multitafsir. Oleh karenanya, jangan pernah punya obsesi untuk menyeragamkan keragaman yang ada. Sederhana saja, hargai keragaman keagamaan yang ada,” pungkasnya.