BANDUNG.kemahasiswaan.itb.ac.id. – Permasalahan pemanasan global yang kian memprihatinkan terus menjadi sorotan publik. Sebagai salah satu negara yang menandatangani Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk menjaga stabilitas suhu bumi dan mengurangi emisi karbon. Salah satu upaya besar yang dicanangkan adalah target Net Zero Emission pada tahun 2060. Meski begitu, pelaksanaan komitmen ini masih perlu evaluasi untuk menilai perkembangan Indonesia serta mengidentifikasi tantangan yang muncul, guna mencari solusi yang tepat.
Menanggapi tantangan ini, SRE ITB (Society of Renewable Energy) bekerja sama dengan HIMA TG “TERRA” ITB (Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika) menggelar kajian bertajuk “Energi Bersih Indonesia: Dapatkah Terwujud?” pada Selasa (17/09/2024) di Gedung BSC-B lantai 3, Kampus ITB Ganesha. Kegiatan yang dihadiri oleh 40 peserta ini bertujuan memetakan kondisi transisi energi Indonesia ke arah energi terbarukan, terutama terkait energi bersih dari biomassa dan limbah. Diskusi ini juga menargetkan peran akademisi dalam mempercepat realisasi transisi energi baru terbarukan serta meningkatkan kesadaran peserta tentang isu tersebut.
Kajian ini dilakukan dalam format LGD (Leaderless Group Discussion) dan forum terbuka, di mana para peserta dapat berbagi ide dan pendapat mengenai langkah percepatan transisi energi bersih. Dalam diskusi, perwakilan dari SRE dan HIMA TG “TERRA” membagikan materi yang berbeda—SRE membahas potensi energi terbarukan, sementara HIMA TG menyoroti peran energi fosil. Hanif Yusran Makarim (Rekayasa Pertanian 2022) dari SRE ITB dan Muhammad Fikri Fahrezi (Teknik Geofisika 2022) dari HIMA TG “TERRA” menjadi narasumber utama.
Fikri Fahrezi memaparkan kondisi perubahan iklim global, seperti banjir di Dubai dan kekeringan di Kolombia pada April 2024, sebagai dampak dari krisis iklim. Ia menekankan bahwa sektor energi yang masih bergantung pada energi fosil menjadi kontributor utama emisi karbon, sehingga transisi menuju energi bersih adalah keharusan. “Transisi energi bersih dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan iklim dan kebutuhan energi manusia,” ujarnya.
Namun, Fikri juga menyoroti bahwa kebijakan yang ada, ekosistem ekonomi, serta pelaksanaan komitmen energi di Indonesia masih belum optimal. Meskipun berbagai langkah seperti pajak karbon, penggunaan kendaraan listrik, dan teknologi penangkapan karbon (CCS) telah dirancang, penerapannya masih belum cukup matang untuk mempercepat transisi energi.
Diskusi juga menggarisbawahi pentingnya strategi pemanfaatan skema cofiring—menggabungkan energi biomassa dengan energi fosil—untuk menekan konsumsi energi fosil. Para peserta menegaskan bahwa keseriusan dalam memanfaatkan energi terbarukan, seperti energi surya, sangat penting guna mencapai target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menempatkan energi surya sebagai sumber utama energi nasional.
Dengan kajian ini, diharapkan para mahasiswa dan akademisi dapat memahami lebih dalam peran mereka dalam mendorong transisi energi bersih di Indonesia. Meskipun tantangan yang dihadapi sangat kompleks, kolaborasi berbagai pihak, baik di sektor energi terbarukan maupun industri fosil, menjadi kunci untuk mewujudkan masa depan yang lebih ramah lingkungan. Indonesia diharapkan dapat mencapai target Net Zero Emission pada 2060 dan berkontribusi dalam menjaga kestabilan iklim global.